Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa gerakan tubuh, khususnya gerakan mengocok pada tikus, memodulasi pemrosesan sensorik di otak secara berbeda dari yang diperkirakan sebelumnya, sehingga menantang peran korteks motorik yang sudah ada. Penemuan ini, yang menyoroti dampak signifikan dari input sensorik sekunder dan thalamus, dapat merevolusi pengembangan teknologi yang meniru integrasi sensorik-motorik manusia.
Para ilmuwan telah mengungkapkan pemahaman baru tentang dampak gerakan fisik terhadap pengalaman sensorik, mempertanyakan pandangan tradisional di bidang ilmu saraf.
Otak secara luas dianggap sebagai organ paling kompleks dalam tubuh manusia. Mekanisme rumit yang digunakan otak untuk memproses informasi sensorik dan bagaimana informasi ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kontrol motorik telah memikat para ahli saraf selama lebih dari satu abad. Saat ini, berkat peralatan dan teknik laboratorium yang canggih, para peneliti dapat menggunakan model hewan untuk memecahkan teka-teki ini, terutama pada otak tikus.
Selama 20th Pada abad ke-19, percobaan dengan tikus yang dianestesi membuktikan bahwa masukan sensorik terutama menentukan aktivitas saraf di korteks sensorik primer—daerah otak yang memproses informasi sensorik, termasuk sentuhan, penglihatan, dan pendengaran. Namun, selama beberapa dekade terakhir, penelitian yang melibatkan tikus yang terjaga mengungkapkan bahwa perilaku spontan, seperti gerakan eksplorasi dan gerakan kumis yang disebut mengocok, sebenarnya mengatur aktivitas respons sensorik di korteks sensorik primer. Dengan kata lain, sensasi pada tingkat saraf tampak secara substansial dimodulasi oleh gerakan tubuh, meskipun sirkuit saraf yang terkait dan mekanisme yang mendasarinya belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian Terobosan tentang Pemrosesan Sensorik
Untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini, tim peneliti dari Jepang menyelidiki korteks barel somatosensori primer (S1)—sebuah wilayah di otak tikus yang menangani masukan sentuhan dari kumis. Studi terbaru mereka, diterbitkan di Jurnal Ilmu Saraf pada tanggal 1 Desember 2023, dilakukan oleh Profesor Takayuki Yamashita dari Fujita Health University (FHU) dan Dr. Masahiro Kawatani, yang berafiliasi dengan FHU dan Universitas Nagoyabersama dengan timnya.
Wilayah S1 menerima masukan melalui akson dari beberapa area lain, termasuk korteks somatosensori sekunder (S2), korteks motorik primer (M1), dan thalamus sensorik (TLM). Untuk menyelidiki bagaimana wilayah ini memodulasi aktivitas di S1, para peneliti beralih ke optogenetika (teknik untuk mengendalikan aktivitas populasi saraf tertentu melalui cahaya) yang melibatkan eOPN3, yang merupakan protein peka cahaya yang baru ditemukan yang memungkinkan penghambatan efektif jalur saraf tertentu sebagai respons terhadap lampu. Dengan menggunakan virus sebagai vektor, mereka memperkenalkan gen yang mengkode protein ini ke wilayah M1, S2, dan TLM pada tikus. Kemudian, mereka mengukur aktivitas saraf di S1 pada tikus yang terjaga dan melakukan gerakan mengocok secara spontan. Selama proses ini, mereka secara selektif menghambat input sinyal berbeda yang menuju S1 menggunakan cahaya sebagai saklar ON/OFF dan mengamati efeknya pada S1.
Temuan dan Implikasi Integrasi Sensorimotor
Menariknya, hanya input sinyal dari S2 dan TLM ke S1, bukan dari M1 ke S1, yang memodulasi aktivitas saraf di S1 selama pengadukan spontan. Secara khusus, jalur dari S2 ke S1 sepertinya menyampaikan informasi tentang keadaan gerak kumis. Selain itu, jalur TLM-ke-S1 tampaknya menyampaikan informasi terkait fase kocokan spontan, yang mengikuti pola berulang dan berirama. Hasil ini menantang pandangan lama bahwa aktivitas saraf di korteks sensorik dimodulasi terutama oleh korteks motorik selama gerakan, seperti yang dikatakan Prof. Yamashita: “Temuan kami memicu pertimbangan ulang peran proyeksi motorik-sensorik dalam integrasi sensorimotor dan mengungkap hal baru. berfungsi untuk proyeksi S2-ke-S1.”
Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana wilayah otak yang berbeda memodulasi aktivitas satu sama lain sebagai respons terhadap gerakan dapat membawa kemajuan dalam berbagai bidang terapan. Wawasan penelitian ini memiliki implikasi yang luas, berpotensi merevolusi bidang-bidang seperti kecerdasan buatan (AI), prostetik, dan antarmuka otak-komputer. “Memahami mekanisme saraf ini dapat sangat meningkatkan pengembangan sistem AI yang meniru integrasi sensorik-motorik manusia dan membantu menciptakan prostetik dan antarmuka yang lebih intuitif bagi penyandang disabilitas,” tambah Prof. Yamashita.
Singkatnya, penelitian ini menyoroti cara kerja otak yang rumit. Hal ini juga membuka jalan untuk meneliti hubungan antara gerakan tubuh dan persepsi sensorik. Saat kita terus mengeksplorasi teka-teki terkait otak, penelitian seperti ini menawarkan petunjuk penting dalam upaya kita memahami organ paling kompleks dalam tubuh manusia.
Penelitian ini didanai oleh Badan Sains dan Teknologi Jepang, Masyarakat Jepang untuk Promosi Sains, Yayasan Naito, Yayasan Sains Takeda, Yayasan Penelitian Elektroteknologi Chubu, Universitas Kesehatan Fujita, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. , Olahraga, Sains dan Teknologi.